Sejak pertemuan itu, aku dan Amar mulai bersahabat. Kami bertemu tanpa sengaja mencoba akrab satu sama lain, saling mengerti dan menjalani hari-hari penuh makna. Persahabatan dengan jarak yang begitu dekat itu membuat kami semakin mengenal pentingnya hubungan ini.
Tak lama kemudian, aku harus pergi meninggalkannya. Sesungguhnya hatiku sangat berat untuk ini, tapi apa boleh buat. Pertemuan terakhirku berlangsung sangat haru, tatapan penuh canda itu mulai sirna dibalut dengan duka mendalam.
“Amar, maafkan aku atas semua kesalahan yang pernah ku lakukan, ya.” Kataku saat ia berdiri pas di depanku.
“Kamu gak pernah salah Aisha, semua yang udah kamu lakukan buat aku itu lebih dari cukup.”
“Please, tolong jangan lupain aku, Amar”
“Ok, kamu nggak usah khawatir.” Sesaat kemudian mobilku melaju perlahan meninggalkan sesosok makhluk manis itu.
***
Ku lihat dari dalam tempatku duduk terasa pedih sangat kehilangan. Jika nanti kami dipertemukan kembali ingin ku curahkan semua rasa rinduku padanya. Itu janji yang akan selalu ku ingat. Suara manis terakhir yang memberi aku harapan.
Awalnya persahabatan kami berjalan dengan lancar, walau kami telah berjauh tempat tinggal. Pada suatu ketika, ibu bertanya tentang sahabat baruku itu.
“Siapa gerangan makhluk yang membuatmu begitu bahagia, Aisha?” tanya ibu saat aku sedang asyik chatingan dengan Amar.
“Ini, ma. Namanya Amar. Kami berkenalan saat liburan panjang kemarin.”
“Seganteng apa sich sampai buat anak mama jadi kayak gini?”
“Gak tahu juga sih ma, pastinya keren banget deh, tapi nggak apa-apa kan, Ma,aku berteman sama dia.?”
“Apa maksud kamu ngomong kayak gitu?”
“Kami berbeda agama, Ma”
“Hah??,” sesaat mama terkejut mendengar cerita ku. Tapi beliau mencoba menutupi rasa resahnya. Aku tahu betul apa yang ada di fikiran mama, pasti dia sangat tidak menyetujui jalinan ini. Tapi aku mencoba memberi alasan yang jelas terhadapnya.
Sehari setelah percakapan itu, tak ku temui lagi kabar dari AAmar, aku sempat berfikir apa dia tahu masalah ini,,? Ku coba awali perbincangan lewat SMS..
“Sudah lama ya nggak bertemu? Gimana kabarnya nech,,? “
Pesan itu tertuju kepadanya, aku masih ingat banMerinat saat laporan penerimaan itu. Berjam-jam ku tunggu balasan darinya. Tapi tak ku lihat Hp ku berdering hingga aku tertidur di buatnya. Tak kusangka dia tak membalas SMS ku lagi.
Tak kusangka ternyata mama selalu melihat penampilan ku yang semakin hari semakin layu.
“Aisha, maafkan mama ya, tapi ini perlu kamu ketahui. Jauhi anak itu, tak usah kamu ladeni lagi.” Suara mama sungguh mengaMerinatkan ku saat itu. Ku coba tangkap maknanya. Tapi sungguh pahit ku rasa.
“Apa maksud mama?”
“Kamu boleh kok berteman dengan dia, tapi kamu harus ingat pesan mama. Jaga jarak ya, jangan terlalu dekat. Mama takut kamu akan kecewa.”
“Mama ngomong paan sih,? Aku semakin gak mengerti.”
“Suatu saat kamu pasti bisa menMerinarti ucapan mama” mamapun pergi meninggalkan ku sendiri.. Aku coba berfikir tenteng ucapan itu. Saat ku tahu jiwa ini langsung kaMerinat di buatnya.. tak terasa tangispun semakin menjadi-jadi dan mengalir deras di kedua pipiku. Mama benar kami berbeda agama dan nggak selayaknya bersatu kayak gini. tapi aku semakin ingat kenangan saat kita masih bersama.
***
Satu tahun telah berlalu, bayangan tentangnya masih membekas di hatiku. Aku belum bisa melupakannya. Mungkin suatu saat nanti dia kan sadar betapa berharganya aku untuk dirinya.
Satu harapan dari hatiku yang paling dalam adalah bertemu dengannya dan memohon alasannya mengapa ia pergi dari hidupku secepat itu tanpa memberi tahu kesalahanku hingga membuat aku terluka.
***
Awal masuk sekolah pasti ada MOS yaitu Masa Orientasi Siswa. Aku menginjak ke SMP, bersama teman-teman SD ku dulu aku berkumpul dan membicarakan tentang MOS. “Aisha…,” begitu teman-teman memanggilku. “Teman-teman,” kataku menghampiri mereka. “Kamu gugus mana?” tanya Lovin, temanku. “ini aku cari-cari namaku gak ketemu-ketemu,” kataku mengusap keringat yang membasahi wajahku. “Ya udah kita cari sama-sama yuk,” ajak Amar, temenku. Kami bertiga mencari namaku yang semenjak tadi tak ketemu-ketemu. “Aisha, sini deh,” kata Amar memanggilku. “ada namaku?” tanyaku penasaran. “ini nih kita satu gugus, Aishawara Valentine, Amaridho, Lovin,” kata Amar membaca nama kita bertiga. “Wah, hebat kau Amar. Dari tadi aku cari-cari gak ketemu,” kataku memuji Amar. “Ya udah kita masuk yuk,” ajak Lovin.
Hari pertama MOS itu sangat membosankan bagiku. Apa lagi harus berpanas-panasan untuk upacara pembukaan MOS. Banyak korban pingsan di lapangan sekolah itu. Tenggorokanku mulai kering dan sungguh membuat kepalaku menjadi pusing. Tak lama, aku merasa sudah tak berdaya dan jatuh pingsan. Tak lama aku membuka kedua mataku dan ternyata aku berada di UKS sekolah. Bersama anggota PMR yang menjadi kakak kelasku waktu itu. Aku masih lemas untuk beranjak dari tempat tidur. Dua sahabatku datang menjengukku. Dan aku di tuntutnya untuk berjalan menuju kelas.
Sampai di kelas aku menerima materi awal-awal perkenalan. Kutatap wajah seorang cowok yang berada di seberang mejaku saat itu. Sebelum materi di mulai, absensi siswa MOS saat itu di percepat. Berpasang-pasangan. Dan tak kusangka namaku dipanggil dan cowok yang berada di sampingku tadi juga maju dan ternyata dia bernama Amansanjaya Bratayuda. Setelah tanda tangan kehadiran, kami kembali ke tempat duduk semula.
Materi pembelajaran untuk jam pertama sudah usai saatnya istirahat. Aku, Lovin, dan Amar menyergap kantin sekolah dan berdesak-desakan. Dan kulihat lagi cowok yang mempunyai nama Amansanjaya Bratayuda sedang asyiknya ngobrol dengan teman barunya di depan kelas. Sepertinya aku merasakan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Sudah 15 menit waktu untuk istirahat. Waktunya masuk kembali untuk bermain dan belajar.
MOS sudah berjalan tiga hari. Hari ini adalah hari terakhir MOS. Dengan aturan hari ini, aku memakai kaos kaki berbeda warna, dengan rambut yang di kucir sangat banyak seperti orang gila. Semua murid MOS mengikuti upacara penutupan MOS. Hari yang panas. Terasa seperti di panggang. Banyak korban pingsan di lapangan itu. Akhirnya upacara penutupan MOS dipercepat.
***
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bisa bertemu banyak teman baru. Mereka semua baik kepadaku. Saat aku berkenalan dengan salah satu temanku yang bernama Merina, mataku teralihkan oleh satu sosok yang mungkin pernah aku kenal. Saat ku tatap pekat wajahnya ternyata dialah Amansanjaya Bratayuda. “Dia kan,” gumamku dalam hati. “Halo?Kenapa melongo gitu Aisha?” tanya Merina sambil melambai-lambaikan tanganya di depan wajahku. “Emm,” aku tersentak olehnya. “Kenapa?” tanya Merina penasaran. “Oh, ga… gak pa… papa,” kataku gagap. Merina memandangiku dengan wajah bingung. Seperti otaknya penuh dengan tanda tanya. “Aisha…,” sapa Amar dan Lovin. “Ehh kalian,” kataku memandang Lovin dan Amar. Lovin dan Amar tersenyum manis kepada Merina. “Ini Merina,” kataku memperkenalkan. “Aku Lovin,” kata Lovin memperkenalkan dirinya. “Aku Amar,” kata Amar juga memperkenalkan dirinya. “So beautiful,” kata Lovin memuji kecantikan Merina. “Thank you very much,” kata Merina menjawab pujian Lovin dengan malu.
Aku, Lovin, Amar, dan Merina sudah berteman sangat lama. Sudah lima bulan aku masuk di kelas 7 C. Bersama-sama dengan ketiga sahabatku itu. Tiba-tiba perbincanganku tersentak oleh sosok cowok yang memasuki kelasku. Dia…… Dia…… “Aisha, kenapa melongo?” gertak Amar. “Eemm, eh, eng… enggak papa,” kataku gugup. “Kenapa sih?” tanya Merina. “Iya, pelit banget gak mau ngasih tau,” tanya Lovin semakin mendesak. Mereka bertiga melihatku memandangi Amansanjaya sejak tadi. “Oo, itu toh yang buat kamu melongo,” ucap Merina mengMerinantakkan jantungku. “Siapa, mana?” kataku bertanya-tanya dengan ragu. “Itu tuh,” kata Merina menyenggol lenganku dan melirik Amansanjaya Bratayuda. “Apaan?”. “Sok tau nih,” gertak Merina lagi. Aku semakin salah tingkah dibuatnya. Sosok cowok itu pun pergi meninggalkan kelasku. “Siapa emangnya?” tanya Lovin dan Amar bersamaan. “Amansanjaya Bratayuda,” kata Merina. “Kamu suka ya Aisha?” tanya Amar ingin tau. “Sok tau kamu Merina,” kataku. “Uhuui, jatoh cinta lagi,” ledek Amar. “Apaan sih kalian?” kataku meninggalkan mereka bertiga yang semakin meledekku.
***
Suatu hari acara ulang tahun sekolahku. Setiap kelas harus menampilkan minimal satu pementasan. Semua teman kelasku memilihku untuk menyanyi solo. Tapi aku seorang remaja yang demam panggung. Dan aku pun ditemani oleh Merina yang suaranya lumayan bagus walaupun nggak sebagus suaraku… hehehe J. Malam ulang tahun itu tiba yang memang bertepatan dengan hari ulang tahunku. “Grogi aku Merina,” kataku sambil gemeteran. “Enjoy saja Aisha,” kata Merina memberiku semangat. “aku bener-bener demam panggung,” kataku dengan keringat dingin. “Nanti ada Amarsanjaya kan yang ngeliat?” ejek Merina. “Jadi nama panggilanya Amar,” kataku sedikit tersenyum. “Iya.” Hari yang membuatku di selimuti oleh kegrogian yang luar biasa. Karena aku dan Merina akan mewakili kelasku untuk memberikan penampilan yang terbaik.
Acara itu pun dimulai. Dimulai dari kelas 9 lalu dilanjutkan kelas 8 lalu menuju kelas 7. Penampilan yang begitu spektakuler telah ditampilkan dengan penuh semangat. Beribu-ribu tepuk tangan mengiri suasana tersebut. Tiba giliran kelas 7 C yang menampilkan aktrasinya. Jantungku semakin berdebar dengan kencang. Keringat bercucuran ke seluruh badan. Dengan Merinanggaman erat tangan Merina aku dengan gugupnya menaiki panggung dan menMerinacek mikrofon. Tepuk tangan pun mulai terdengar. Seolah aku tak bisa membayangkan diriku nanti. Dentuman musik R&B mulai terdengar. Dalam hitungan detik syair lagu akan mulai dinyanyikan. Merina dengan semangat dan PD-nya menari-nari happy, sedangkan aku … ????
Keringat bercucuran dari tubuhku. Keringat dingin menyelimuti seluruh tubuhku. Dengan perasaan yang tak karuan aku mulai melantunkan lagu kesukaanku itu. Siswa-siswa bertepuk tangan lama kelamaan aku merasa semakin enjoy. Saat aku menyanyi, aku melihat aAmar tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumanya yang tak kalah manis hehe. Lagu itu pun usai ku nyanyikan. Pertunjukan kurang dua kelas lagi. Ada yang dance, drama, nyanyi, pelawak, sampai dengan band.
Hari itu hari yang menyenangkan bagiku. Melihat ia tersenyum kepadaku membuatku semakin bersemangat. “Aisha,” sapa Amar. “Eh, Amar. Yang lain kemana?” kataku balik tanya. “tuh,” kata Amar menunjuk Lovin dan Merina. Lovin dan Merina melambaikan tanganya kepadaku dan Amar. Tiba-tiba Amar menarik tanganku meninggalkan tempat itu. “Aisha, Amar. Mau kemana?” tanya Merina. “Bentar aja,” teriak Amar dari kejauhan. Merina mengajakku ke tempat yang sepi, dan Amar tampak serius memandangku. “Apa kamu bener suka Amansanjaya Bratayuda?” tanya Amar menatap kedua mataku. Aku tidak tau harus berkata apa. Semua kebingunan merasuki otakku. Aku terdiam mematung. “Iya,” kataku lirih.
“Aku punya informasi tentang si Amansanjaya Bratayuda itu,” ungkap Amar. “Info apa?” tanyaku kebingungan. “Dia sudah mempunyai pacar,” kata Amar berbisik kepadaku. “Kamu tau dari siapa?” tanyaku sedih. “Kamu tau Rachel kan?” kata Amar menguatkan. “Ya.”
“Dialah pacarnya,” kata Amar. Aku sedikit ragu dan meneteskan air mata. “Kenapa aku mencintai orang yang salah selama ini?” kataku menambah tangisanku. Isak tangisku terdengar oleh Lovin dan Merina. “Kenapa dia?” tanya Lovin dan Merina. “Kamu tidak salah mencintai dia tetapi kamu hanya belum beruntung mendapatkanya,” hibur Amar. Amar berbisik kepada Merina dan Lovin atas semua ini. “sudahlah Aisha, kenapa harus menangis karena cinta?” hibur Merina. “iya, dia bukan sosok yang baik untuk kamu. Banyak cowok yang mau sama kamu di luar sana. Bahkan lebih baik dari aAmar,” ungkap Lovin memberi semangat. Aku terharu dengan semuanya. Aku memeluk erat tubuh ketiga sahabatku itu dengan penuh keikhlasan dan aku tau dia bukanlah untukku.